Ritual Kanibalisme Orang Batak

Belum tahu kau dulu orang Batak suka makan orang?” Ucapan setengah mengancam itu sering kali terlontar dari mulut halak hita saat berada di puncak kekesalannya terhadap seseorang.
Asal kalian tahu, semakin sering ucapan itu terlontar, anggapan orang Batak dulu adalah kanibal semakin mengendap di benak masyarakat.

Lalu, apakah kanibalisme pada masyarakat Batak dulu benar-benar nyata, atau hanya sekadar mitos?

Ada yang membenarkan hal ini, namun ada yang menganggapnya hanya ketakutan yang diciptakan. Yang jelas, hal ini masih menjadi perdebatan hingga kini.
Salah satu yang membenarkan adalah dokumen perjalanan misionaris Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward, ke Tano Batak pada 1824. Kala itu, orang Batak masih menganut kepercayaan animisme atau memuja roh leluhur.

Dalam ‘Witnesses to Sumatra: A Traveller’s Anthology’ (Reid, 1995), Burton dan Ward mengatakan, kanibalisme di Tanah Batak berkaitan dengan penegakan hukum dan tawanan perang.
Dua orang dari Baptist Missionary Society di London itu bahkan pernah melihat 20 tengkorak manusia yang masih disimpan di Desa Silindung.
Setahun yang lalu, 20 orang sekaligus dimakan dalam sehari,” tulis Burtond dan Ward. 
Berdasarkan keterangan tuan rumah tempat mereka menginap, Burton dan Ward mengatakan, 20 orang yang dimakan itu sering merampok orang-orang di jalan, sehingga perbuatan mereka tidak bisa lagi dibiarkan.

Selain merampok, seseorang juga bisa dimakan hidup-hidup ketika tertangkap berzina. “Dia akan dimakan sedikit demi sedikit tanpa dibunuh terlebih dahulu.”


Jasad korban perang maupun tawanan perang besar juga bisa dimakan bersama-sama. “Tetapi jika hanya dua desa yang berperang, hal tersebut dilarang,” tulis Burton dan Ward.
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.

Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.

Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka 

Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan.  Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi
 
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.  Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.   

Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.

Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar

Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak